http://calipso-tasaufmoden.blogspot.com/2008/10/pengertian-qanaah.html
Pengertian Qanaah
Qanaah ialah menerima dengan cukup.Qanaah itu mengandung lima perkara:
- Menerima dengan rela akan apa yang ada.
- Memohonkan kepada Tuhan tambahan yang pantas, dan berusaha.
- Menerima dengan sabar akan ketentuan Tuhan.
- Bertawakal kepada Tuhan.
- Tidak tertarik oleh tipu daya dunia.
Itulah yang dinamai Qanaah, dan itulah kekayaan yang sebenarnya.
Rasulullah saw bersabda:
"Bukanlah kekayaan itu lantaran banyak harta,, kekayaan ialah kekayaan jiwa".
Ertinya: Diri yang kenyang dengan apa yang ada, tidak terlalu haloba dan cemburu, bukan orang yang meminta lebih terus terusan. Kerana kalau masih meminta tambah, tandanya masih miskin.
Rasulullah saw bersabda juga:
Ertinya:
"Qanaah itu adalah harta yang tak akan hilang dan pura (simpanan) yang tidak akan lenyap". (HR. Thabarai dari Jabir).
Orang yang mempunyai sifat qanaah telah memagar hartanya sekadar apa yang dalam tangannya dan tidak menjalar fikirannya kepada yang lain.
Barangsiapa yang telah beroleh rezeki, dan telah dapat yang akan dimakan sesuap pagi sesuap petang, hendaklah tenangkan hati, jangan merasa ragu dan sepi. Tuan tidak dilarang bekerja mencari penghasilan, tidak disuruh berpangku tangan dan malas lantaran harta telah ada, kerana yang demikian bukan qanaah, yang demikian adalah kemalasan. Bekerjalah, kerana manusia dikirim ke dunia buat bekerja, tetapi tenangkan hati, yakinlah bahawa di dalam pekerjaan itu ada kalah dan menang. Jadi tuan bekerja lantaran memandang harta yang telah ada belum mencukupi, tetapi bekerja lantaran orang hidup tak boleh menganggur.
Hal ini kerap menerbitkan salah sangka dalam kalangan mereka yang tidak faha rahsia agama. Mereka lemparkan kepada agama suatu tuduhan, bahawa agama memundurkan hati bergerak. Agama membawa manusia malas, sebab dia sentiasa mengajak umatnya membenci dunia, terima saja apa yang ada, terima saja takdir, jangan berikhtiar melepaskan diri. Sebab itu, bangsa yang tidak beragama beroleh kekayaan, bangsa yang zuhud terlempar kepada kemiskinan katanya!
Tuduhan demikian terbit lantaran salah perasangka pemeluk agama sendiri. Mereka sangka bahawa yang bernama qanaah ialah menerima saja apa yang ada, sehingga mereka tidak berikhtiar lagi. Mereka namai taqwa orang yang hanya karam dalam mihrab. Mereka katakan soleh orang yang menjunjung serban besar, tetapi tidak memperdulikan gerak geri dunia. Mengatur hidup, mengatur kepandaian, ilmu dunia, semuanya mereka sangka tidak boleh dilarang agama! Sebab kesalahan persangkaan pemeluk agama itu, salah pulalah persangkaan orang yang tidak terdidik dengan agama, bukan kepada pemeluk agama yang salah pasang itu, tetapi salah sangka kepada agama sendiri.
Intisari pelajaran agama ialah menyuruh qanaah itu, qanaah hati, bukan qanaah ikhtiar. Sebab itu terdapatlah dalam masa sahabat-sahabat Rasulullah saw, orang kaya-kaya, berwang, berharta berbilion, beruma sewa, berunta banyak, memperniagakan harta benda keluar negara, dan mereka qanaah juga. Faedah qanaah amat besar di waktu harta itu terbang dengan tiba-tiba.
Sri baginda ratu Belanda Wilhelmina seorang ratu yang masyhur mempunyai pendirian qanaah ini. Puteri Yuliana, disuruh mempelajari segala macam kepandaian yang perlu untuk menjaga hidup sehari-hari, disuruh belajar menjahit, memasak, menyulam dan lain-lain. Ketika ditanyai orang kepada baginda apa maksud yang demiian, baginda menjawab kira-kira demikian.
"Tipu daya dunia tak dapat dipercayai, ini hari kita dipujuknya, besok mana tahu kita diperdayakannya, sebab itu kita tak boleh harap dengan yang ada, dan tak boleh cemas menempuh apa yang akan terjadi".
"Tipu daya dunia tak dapat dipercayai, ini hari kita dipujuknya, besok mana tahu kita diperdayakannya, sebab itu kita tak boleh harap dengan yang ada, dan tak boleh cemas menempu apa yang akan terjadi".
Inilah pendirian yang sepantasnya bagi seorang raja, terutama di zaman demokrasi, kerani nasib tidak dapat ditentukan, berapa banyak raja yang lebih besar dari Ratu Wilhelmina, dan Yuliana terpaksa meninggalkan singgahsananya. Pelajari hidup bersakit, kerana nikmat tidaklah kekal.
Maksud qanaah itu amatlah luasnya. Menyuruh percaya yang betul-betul akan adanya kekuasaan yang melebihi kekuasaan manusia, menyuruh sabar menerima ketentuan Ilahi jika ketentuan itu tidak menyenangkan diri, dan bersyukur jika dipinjamiNya nikmat, sebab entah terbang pula nikmat itu kelak. Dalam hal yang demikian disuruh bekerja, kewajipan belum berakhir. Kita bekerja bukan lantaran meminta tambahan yang telah ada dan tak merasa cukup pada apa yang dalam tangan, tetapi kita bekerja, sebab orang hidup mesti bekerja.
Itulah maksud qanaah.
Nyatalah salah persangkaan orang yang mengatakan qanaah ini melemahkan hati, memalaskan fikiran, mengajak berpangku tangan. Tetapi qanaah adalah modal yang paling teguh untuk menghadapi penghidupan, menimbulkan kesungguhan hidup yang betul-betul (enerti) mencari rezeki. Jangan takut dan gentar, jangan ragu-ragu dan syak, mantapkan fikiran, teguhkan hati, bertawakal kepada Tuhan, mengharapkan pertolonganNya, serta tidak merasa kesal jika ada keinginan yang tidak berhasil, atau yang dicari tidak dapat.
Kenapa kita ragu-ragu, padahal semuanya sudah tertulis lebih dahulu pada azal, menurut jalan sebab dan musabab.
Ada orang yang putus asa dan membuat bermacam-macam 'boleh jadi' terhadap Tuhan. Dan berkata:
"Boleh jadi saya telah ditentukan bernasib buruk, apa guna saya berikhtiar lagi. Boleh jadi saya telah ditentukan masuk neraka, apa guna saya bersembahyang".
Ini namanya syu'uahan, jahat sangka dengan Tuhan, bukan husnus zhan, baik sangka. Lebih baik merdekakan fikiran diri dari syu'uzhan itu. Faham demikian tidak berasal dari pelajaran agama, tetapi dari pelajaran falsafah yang timbul setalah ulama-ulama Islam bertengkar-tengkar tentang takdir, tentang azali, tentang qadha dan qadar.
Tak mungkin Allah akan begitu kejam, menentukan saja seorang mesti masuk neraka, padahal dia mengikut perintah Allah?
Kembali kepada qanaah tadi, maka yang sebaik-baiknya ubat buat menghindarkan segala keraguan dalam hidup, ialah berikhtiar an percaya kepada takdir. Hingga apa pun bahaya yang datang kita tidak syak dan ragu Kita tidak lupa ketika untung, dan tidak cemas ketika rugi. Siapa yang tidak berperasaan qanaah, ertiya dia tak percaya takdir, tak sabar, tak tawakal. Mesti tak dapat dia tak percaya takdir, tak sabar, tak tawakal. Mesti tak dapat tidak, fikirannya kacau, lekas marah,penyusah, dan bilamana tidak, fikirannya kacau, lekas marah, penyusah,dan bilamana beruntung lekas pembangga. Dia lari dari yang ditakutiya, tetapi yang ditakuti itu berdiri di muka pintu, sebagaimana orang yang takut mengingat-ingat, barang yang diingat-ingat, kian dicubanya melupakan teringat itu, kian teguh dia berdiri di ruang matanya.
Ini semuanya tidak terjadi pada orang beriman yang redha menerima apa yang tertentu dalam azal. Meskipun susah atau senang, miskin atau kaya, semua hanya pada pandangan orang luar. Sebab dia sendiri adalah nikmat, dan kekayaan dalam perbendaharaan yang tiada ternilai harganya, 'pada lahirnya azab, pada batinnya rahmat'. Jika ditimpa susah, dia senang sebab dapat mengingat kelemahan dirinya dan kekuatan Tuhannya, jika dihujani rahmat, dia senang pula, sebab dapat bersyukur.
Qanaah, adalah tiang kekayaan yang sejati. Gelisah adalah kemiskinan yang sebenarnya. Tidak dapatlah disamakan lurah dengan bukit, tenang dengan gelisah, kesusahan dan kesukaan, kemenangan dan kekalahan, putus asa dan cita-cita. Tak dapat disamakan orang yang sukses dengan orang yang muflis.
Keadaan-keadaan yang terpuji itu terletak pada qanaah, dan semua yang tercela ini terletak pada gelisah.
Dipetik daripada :
http://jalandakwahbersama.wordpress.com/2009/06/15/qana%E2%80%99ah/
QANA’AH
Sikap qana’ah didefinisikan sebagai sikap merasa cukup, ridha atau puas atas karunia dan rezeki yang diberikan Allah SWT Qana’ah ialah kepuasan hati dengan rezeki yang ditentukan Allah.Qana’ah itu mengandung lima perkara:
- Menerima dengan rela akan apa yang ada.
- Memohonkan kepada Allah tambahan yang pantas, dan berusaha.
- Menerima dengan sabar akan ketentuan Allah.
- Bertawakal kepada Allah.
- Tidak tertarik oleh tipu dunia
Qana’ah bukanlah berarti hilang semangat untuk berkerja lebih keras demi menambah rezeki. Malah, ia bertujuan supaya kita sentiasa bersyukur dengan rezeki yang dikurniakan Allah. Karena sikap qana’ah tidak berarti fatalis menerima nasib begitu saja tanpa ikhtiar. Orang-orang qana’ah bisa saja memiliki harta yang sangat banyak, namun semua itu bukan untuk menumpuk kekayaan
Nabi Muhammad SAW telah mengajarkan kepada kita bagaimana kita harus bersikap terhadap harta, yaitu menyikapi harta dengan sikap qana’ah (kepuasan dan kerelaan). Sikap qana’ah ini harus dimiliki oleh orang yang kaya maupun orang yang miskin adapun wujud qana’ah yaitu merasa cukup dengan pemberian Allah, tidak tamak terhadap apa yang dimiliki manusia, tidak iri melihat apa yang ada di tangan orang lain dan tidak rakus mencari harta benda dengan menghalalkan segala cara, sehingga dengan semua itu akan membuat orang merasa puas dan tidak mencari melebihi apa yang dibutuhkan, dan mencegah orang dari menurutkan hawa nafsu yang tidak pernah puas.
Rasulullah SAW telah mengajarkan kita semua agar qana’ah, berikut beberapa hadits nya :
Perhatikan sabda Rasulullah SAW berikut ini: “Tidaklah kekayaan itu dengan banyak harta, tetapi sesungguhnya kekayaan itu ialah kekayaan jiwa.” (Hadis riwayat Bukhari dan Muslim)
Rasulullah SAW bersabda: “Jadilah kamu seorang yang wara’, nanti kamu akan menjadi sebaik-baik hamba Allah, jadilah kamu seorang qana’ah, nanti kamu akan menjadi orang yang paling bersyukur kepada Allah, sedikitkanlah tertawa karena banyak tertawa itu mematikan hati.” (Hadis riwayat al-Baihaqi)
Dari Abu Muhammad yaitu Fadhalah bin Ubaid al-Anshari r.a. bahwa dia mendengar Rasulullah SAW bersabda: “beruntunglah kehidupan seseorang yang telah dikaruniai petunjuk untuk memasuki Agama Islam, sedang kehidupannya berada dalam keadaan cukup dan ia bersifat qana’ah (menerima).” (Hadis Hasan Shahih di sisi Imam Tirmidzi) .
Tentang sikap qana’ah, Ibnu Qudamah dalam Minhajul Qashidin menyampaikan hadits dalam Shahih Muslim dan yang lainnya, dari Amr bin Al-Ash r.a Rasulullah SAW bersabda: “Beruntunglah orang yang memasrahkan diri, dilimpahi rezeki yang sekedar mencukupi dan diberi kepuasan oleh Allah terhadap apa yang diberikan kepadanya.” (Diriwayatkan Muslim, At-Tirmidzi, Ahmad dan Al-Baghawy)
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr r.a.:
Bahwa Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya beruntung orang yang sudah masuk Islam, yang rezekinya mencukupi (dan tidak berlebihan) dan yang Allah menjadikannya qana’ah dengan apa diberikan kepadanya. (Muslim)
Dari Hakim bin Hizam r.a. berkata:
Bahwa Nabi SAW. bersabda: Tangan di atas adalah lebih baik dari tangan di bawah. Hendaklah kamu muliakan dengan orang-orang yang di bawah tanggunganmu. Sebaik-baik sedekah ialah dari harta yang lebih (yang kamu atau orang di bawah tanggunganmu tidak memerlukannya). Barangsiapa yang menjaga kehormatan dengan tidak meminta-minta maka Allah akan memelihara kehormatannya. Barangsiapa yang tidak bergantung harap kepada manusia, maka Allah akan mencukupkan keperluannya. (Bukhari dan Muslim]
Ketahuilah sesungguhnya di dalam qana’ah, itu ada kemuliaan dan ketentraman hati karena sudah merasa tercukupi, ada kesabaran serta keridhaan terhadap pembagian rezeki yang telah diatur-Nya. Dan semua itu akan mendatangkan pahala di akhirat. Dan sesungguhnya dalam kerakusan dan ketamakan itu ada kehinaan dan kesusahan karena dia tidak pernah merasa puas dan cukup terhadap pemberian Allah.
Dalam kehidupan kita di dunia, sebaiknya kita melihat orang yang di bawah kita, dan dalam masalah kehidupan akhirat kita melihat orang yang di atas kita.
Hal ini sebagaimana telah ditegaskan Rasulullah SAW dalam hadits sebagai berikut: “Lihatlah orang yang dibawah kalian dan janganlah melihat orang di atas kalian, karena yang demikian itu lebih layak bagi kalian untuk tidak memandang hina nikmat Allah yang dilimpahkan kepada kalian.” (Diriwayatkan Muslim dan At-Tirmidzy)
Kekayaan bukanlah segalanya. kekayaan harta bukanlah kekayaan yang hakiki. kekayaan yang hakiki adalah saat jiwa (hati) kita penuh dengan hidayah Allah SWT.
Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi SAW bersabda: “Bukannya yang dinamakan kaya itu karena banyaknya harta tetapi yang dinamakan kaya (yang sebenarnya) ialah kayanya jiwa.” (Muttafaqu ‘alaih)
Allah SWT berfirman mengenai sifat dasar manusia dalam surat Al Imran ayat 14: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)”.
Ayat diatas menerangkan bahwa fitrahnya manusia mencintai harta dan apa-apa yang diingini. Dan dalam hadistnya Rasulullah SAW bersabda
Jika seorang anak Adam memiliki emas sebanyak dua lembah sekalipun maka dia akan (berusaha) mencari lembah yang ketiga. Perut anak Adam tidak akan pernah puas sehingga dipenuhi dengan tanah. (Riwayat Bukhari).
Karena itulah qana’ah sangat diperlukan untuk mengatasi sifat dasar manusia yang tidak pernah cukup atas apa yang sudah dimiliki.
Allah SWT telah menciptakan dunia, untuk menguji siapa diantara hambanya yang terbaik amalnya, hal ini telah disebutkan dalam firman-Nya di surat Al Mulk ayat 2: “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”
Adapun makna ayat ini, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Al Hafidz Ibnu Katsier dalam tafsirnya bahwa “Allah telah menciptakan seluruh makhluk ini dari ketiadaan, untuk menguji jin dan manusia, siapakah diantara mereka yang paling baik amalnya.”
Siapapun yang ingin meraih ketenangan jiwa, kedamaian hati, maka qana’ah adalah jalannya. Karena sesungguhnya, ketenangan hati ada dalam sedikitnya keinginan. Bila kita ingin meraih ketenangan hidup, marilah kita qana’ah terhadap pemberian dan pengaturan-Nya.
Dewi Yana
http://jalandakwahbersama.wordpress.com
http://dewiyana.cybermq.com
Dipetik daripada :
http://temp-zzz.blogspot.com/2009/02/zuhud-wara-tawadhu-qanaah.html
Zuhud, Wara, Tawadhu & Qana'ah
ZUHUD
Makna & hakikat zuhud banyak diungkap Al-Qur’an, Al Hadits, & ucapan para ulama. Misalnya surat Al-Hadiid ayat 20-23 berikut ini.
Imam Ahmad menafsirkan tentang sifat zuhud yaitu tidak panjang angan-angan (impian/target) dalam kehidupan dunia. Beliau melanjutkan, orang yang zuhud ialah orang yang bila dia berada di pagi hari dia berkata "Aku khawatir tidak bisa menjumpai waktu sore hari". Maka dia segera memanfaatkan waktunya untuk beramal & beribadah sebaik-baiknya.
Ibnu Taimiyah mengatakan -sebagaimana dinukil oleh muridnya, Ibnu al-Qayyim- bahwa zuhud adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat demi kehidupan akhirat.
Selanjutnya tentang keutamaan, tanda & tingkatan Zuhud, silahkan klik di sini..!
WARA’
Wara’ mengandung pengertian menjaga diri atau sikap hati-hati dari hal yang syubhat & meninggalkan yang haram. Lawan dari wara' adalah syubhat yang berarti tidak jelas apakah hal tsb halal atau haram.
Selanjutnya tentang artikel terkait, silahkan klik di sini…
TAWADHU
Tawadhu’ adalah lawan kata dari takabbur (sombong). Ia berasal dari lafadz Adl-Dla’ah yang berarti kerelaan manusia terhadap kedudukan yang lebih rendah, atau rendah hati terhadap sesama/orang yang beriman, atau mau menerima kebenaran apapun bentuknya dan dari siapa pun asalnya.
Seseorang belum dikatakan tawadhu’ kecuali jika telah melenyapkan kesombongan yang ada dalam dirinya. Semakin kecil sifat kesombongan dalam diri seseorang, semakin sempurnalah ketawadhu’annya dan begitu juga sebaliknya. Ahmad Al Anthaki berkata: “Tawadhu’ yang paling bermanfaat adalah yang dapat mengikis kesombongan dari dirimu dan yang dapat memadamkan api (menahan) amarahmu”. Yang dimaksud amarah di situ adalah amarah karena ke-pentingan pribadi yang merasa berhak mendapatkan lebih dari apa yang semestinya diperoleh, sehingga membuatnya tertipu & membanggakan diri (Kitab Ihya ‘Ulumuddin, Al Ghazali).
Memandang orang lain dengan mata tawadhu...
Imam Al Ghazali rahimahullah memberi nasihat agar kita jangan sampai melihat diri kita lebih baik. Karena kebaikan yang hakiki adalah dari penilaian Allah di akhirat kelak dan itu masalah ghaib. Hal itu juga tergantung dengan keadaan bagaimana keadaan kita waktu meninggal.
Contoh lain tawadhu (terhadap sesama):
Makna & hakikat zuhud banyak diungkap Al-Qur’an, Al Hadits, & ucapan para ulama. Misalnya surat Al-Hadiid ayat 20-23 berikut ini.
"Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan & suatu yang melalaikan, perhiasan & bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta & anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering & kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras & ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu & surga yang luasnya seluas langit & bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah & Rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar. Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi & (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, & supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri."Ayat di atas tidak menyebutkan kata zuhud, tetapi mengungkapkan tentang makna & hakikat zuhud. Ayat ini menerangkan tentang hakikat dunia yang sementara & hakikat akhirat yang kekal. Kemudian menganjurkan orang-orang beriman untuk berlomba meraih ampunan dari Allah & surga-Nya di akhirat.
Imam Ahmad menafsirkan tentang sifat zuhud yaitu tidak panjang angan-angan (impian/target) dalam kehidupan dunia. Beliau melanjutkan, orang yang zuhud ialah orang yang bila dia berada di pagi hari dia berkata "Aku khawatir tidak bisa menjumpai waktu sore hari". Maka dia segera memanfaatkan waktunya untuk beramal & beribadah sebaik-baiknya.
Ibnu Taimiyah mengatakan -sebagaimana dinukil oleh muridnya, Ibnu al-Qayyim- bahwa zuhud adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat demi kehidupan akhirat.
Selanjutnya tentang keutamaan, tanda & tingkatan Zuhud, silahkan klik di sini..!
WARA’
Wara’ mengandung pengertian menjaga diri atau sikap hati-hati dari hal yang syubhat & meninggalkan yang haram. Lawan dari wara' adalah syubhat yang berarti tidak jelas apakah hal tsb halal atau haram.
"Sesungguhnya yang halal itu jelas & yang haram itu jelas. Di antara keduanya ada yang syubhat, manusia tidak banyak mengetahui. Siapa yang menjaga dari syubhat, maka selamatlah agama & kehormatannya. Dan siapa yang jatuh pada syubhat, maka jatuh pada yang haram" (HR Bukhari & Muslim)Contoh: Seseorang meninggalkan kebiasaan mendengarkan & memainkan musik karena dia tahu bahwa bermusik atau mendengarkan musik itu ada yang mengatakan halal & ada yang mengatakan haram.
Selanjutnya tentang artikel terkait, silahkan klik di sini…
TAWADHU
Tawadhu’ adalah lawan kata dari takabbur (sombong). Ia berasal dari lafadz Adl-Dla’ah yang berarti kerelaan manusia terhadap kedudukan yang lebih rendah, atau rendah hati terhadap sesama/orang yang beriman, atau mau menerima kebenaran apapun bentuknya dan dari siapa pun asalnya.
Seseorang belum dikatakan tawadhu’ kecuali jika telah melenyapkan kesombongan yang ada dalam dirinya. Semakin kecil sifat kesombongan dalam diri seseorang, semakin sempurnalah ketawadhu’annya dan begitu juga sebaliknya. Ahmad Al Anthaki berkata: “Tawadhu’ yang paling bermanfaat adalah yang dapat mengikis kesombongan dari dirimu dan yang dapat memadamkan api (menahan) amarahmu”. Yang dimaksud amarah di situ adalah amarah karena ke-pentingan pribadi yang merasa berhak mendapatkan lebih dari apa yang semestinya diperoleh, sehingga membuatnya tertipu & membanggakan diri (Kitab Ihya ‘Ulumuddin, Al Ghazali).
Memandang orang lain dengan mata tawadhu...
Imam Al Ghazali rahimahullah memberi nasihat agar kita jangan sampai melihat diri kita lebih baik. Karena kebaikan yang hakiki adalah dari penilaian Allah di akhirat kelak dan itu masalah ghaib. Hal itu juga tergantung dengan keadaan bagaimana keadaan kita waktu meninggal.
Sebab itu, Imam Al Ghazali pun menyampaikan agar kita memandang pihak lain dengan kacamata tawadhu’,”Jika engkau melihat anak kecil, katakanlah dalam hatimu, 'Ia belum pernah bermaksiat kepada Allah. Sedangkan aku telah bermaksiat. Tidak diragukan lagi bahwa ia lebih baik dariku.' Jika engkau melihat orang yang lebih tua katakanlah,’Orang ini telah beribadah sebelum aku melakukannya. Tidak diragukan lagi bahwa ia lebih baik dariku.’ Jika melihat orang alim (pandai), katakan,’Orang ini telah memperoleh apa yang belum aku peroleh. Maka, bagaimana aku setara dengannya.’Jika dia bodoh, katakan dalam hatimu,’Orang ini bermaksiat dalam kebodohan, sedangkan aku bermaksiat dalam keadaan tahu. Maka, hujjah Allah terhadap diriku lebih kuat, dan aku tidak tahu bagaimana akhir hidupnya dan akhir hidupku.’ Jika orang itu kafir, katakan,’Aku tidak tahu, bisa saja dia menjadi Muslim dan akhir hidupnya ditututup dengan amalan yang baik dan dengan keislamannya dosanya diampuni. Sedangkan aku, dan aku berlindung kepada Allah dari hal ini, bisa saja Allah menyesatkanku, hingga aku kufur dan menutup usia dengan amalan keburukan. Sehingga ia kelak termasuk mereka yang dekat dengan rahmat sedangkan aku jauh darinya.’”(Maraqi Al Ubudiyah, hal.79)/Hidayatullah.com
Contoh lain tawadhu (terhadap sesama):
- Rela tidak duduk di kursi kehormatan
- Memulai mengucapkan /menyebarkan salam kepada orang yang dijumpainya
- Tidak suka pujian dan tidak riya dengan kebaikannya
- Anda keluar rumah & bertemu dengan saudaranya sesama muslim... menganggap saudaranya itu "lebih baik" dari Anda
- Berpakaian sederhana
- Memenuhi undangan tanpa melihat siapa yang mengundangnya. dll.
QANA’AH
Qanaah mengandung pengertian merasa cukup/puas dengan yang ada dan cukup atas pemberian rizki atau nikmat dari Allah swt. Lawan dari qanaah adalah tamak.
Hendaknya para penuntut ilmu selalu menghiasi diri dengan sikap qana’ah (menerima apa adanya yang diberikan oleh Allah Ta’ala) dan zuhud. Para Ulama mengatakan zuhud itu derajatnya lebih tinggi di bandingkan wara’ karena pengertian wara’ adalah meninggalkan apa saja yang bisa membahayakan bagi kehidupan seseorang, sedangkan zuhud adalah meninggalkan apa saja yang tidak bermanfaat bagi kehidupan akhiratnya. Jika ada sesuatu yang tidak membahayakan sekaligus tidak ada manfaatnya maka orang yang sekedar wara’ tidak akan menghindarinya, namun orang yang zuhud akan menjauhinya karena dia tidak akan berbuat kecuali yang membawa manfaat bagi kehidupan akhiratnya.
Dalam memenuhi urusan dunia baik berupa kebutuhan primer atau sekunder, gunakan skala prioritas, azas manfaat, lihat ke bawah & qana'ah.
Contoh sederhana:
- Ada ungkapan "Makanlah untuk hidup, bukan hidup untuk makan", maksudnya adalah makanlah sesuatu yang baik & halal karena kita membutuhkannya & bukan sekedar kita menyukainya. Juga, makan bisa bernilai ibadah jika kita memakan makanan yang baik & tidak berlebihan dengan niat supaya kita tetap sehat dan kuat sehingga bisa beraktivitas, berfikir dan beribadah kepada-Nya.
- Janganlah membeli kursi jati kalau kursi kayu biasa atau kursi plastik sudak mencukupi.
- Dalam hal rumah/tempat tinggal gunakan azas manfaat daripada seni, sehingga kita tidak menghambur-hamburkan uang dengan membeli kursi jati, dinding marmer, lukisan kuda ataupun guci. Sedangkan disamping kita masih banyak orang yang hidup di gubuk & beratap seng.
- Buat apa beli kendaraan bersilinder (cylinder) 3000cc kalau dengan kendaraan 1500cc sudah cukup. dll…
Manfa'atkan, nikmati & syukuri yang ada...
Wallahu ‘alamu.
Dipetik daripada :
http://muslimah.or.id/akhlak-dan-nasehat/kemuliaan-qanaah.html
Kemuliaan Qana’ah
Diringkas oleh: Ummu ‘AthiyahDimuroja’ah oleh: Ustadz Abu Salman
Allah subhanahu wa ta’ala telah menciptakan kematian dan kehidupan ini, untuk menguji siapa diantara hambanya yang terbaik amalnya, hal ini telah Allah sebutkan dalam kitabnya yang agung dalam surat Al Mulk ayat 2:
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ َوالْحَيَوةَ لِيَبْلُوَكُمْ أيُّكُمْ أحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْغَفُوْرُ
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”
Adapun makna ayat ini, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Al Hafidz Ibnu Katsier dalam tafsirnya bahwa “Allah telah menciptakan seluruh makhluk ini dari ketiadaan, untuk menguji jin dan manusia, siapakah diantara mereka yang paling baik amalnya.” Kalau demikian apakah kita akan terlena dengan gemerlapnya kehidupan dunia dan lupa memperbaiki amal-amal kita?
Dalam Minhajul Qashidin, Ibnu Qudamah membawakan sebuah hadits yang terdapat dalam Shahih Muslim dan yang lainnya, riwayat Al-Miswar bin Syaddad tentang perumpamaan dunia dan akhirat. Dalam hadits ini, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَا الدُّنْيَا فِيْ اْلاَخِرَةِ إلاَّ كَمِثْْلِ مَا يَجْعَلُ أحَدُكُمْ إصْبَعَهُ فِيْ الْيَمِّ، فَلْيَنْظُرْ بِمَ تَرْجِعُ
“Dunia ini dibanding akhirat tiada lain hanyalah seperti jika seseorang diantara kalian mencelupkan jarinya ke lautan, maka hendaklah dia melihat air yang menempel di jarinya setelah dia menariknya kembali.” (Diriwayatkan Muslim, At-Tirmidzi, Ibnu Majah)
Peringatan tentang hakekat dunia juga disebutkan oleh Abul-Ala’, dia berkata: “Aku pernah bermimpi melihat seorang wanita tua renta yang badannya ditempeli dengan berbagai macam perhiasan. Sementara orang-orang berkerumun di sekelilingnya dalam keadaan terpesona, memandang ke arahnya, Aku bertanya, “Siapa engkau ini?” Wanita tua itu menjawab, “Apakah engkau tidak mengenalku?” “Tidak,” jawabku “Aku adalah dunia,” jawabnya. “Aku berlindung kepada Allah dari kejahatanmu,” kataku. Dia berkata, “Kalau memang engkau ingin terlindung dari kejahatanku, maka bencilah dirham (uang).”
Sesungguhnya Allah telah menjadikan bumi ini sebagai tempat tinggal bagi kita selaku hamba Allah. Dan apa yang ada diatas bumi ini seperti pakaian, makanan, minuman, pernikahan dan lain-lain merupakan santapan bagi kendaraan badan kita yang sedang berjalan kepada Allah. Barangiapa di antara manusia yang memanfaatkan semua itu menurut kemaslahatannya dan sesuai dengan yang diperintahkan Allah maka itu adalah perbuatan yang terpuji. Dan barangsiapa yang memanfaatkannya melebihi apa yang dia butuhkan karena tuntutan kerakusan dan ketamakan maka dia pantas untuk dicela.
Wahai hamba Allah, setelah kita mengetahui hakekat dunia dan bagaimana seharusnya kita bersikap dengan dunia ini, akankah kita tetap akan mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dan kita jadikan harta tersebut sebagai tujuan hidup kita???
Suri tauladan kita Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mengajarkan kepada kita bagaimana kita harus bersikap terhadap harta, yaitu menyikapi harta dengan sikap qana’ah (kepuasan dan kerelaan). Sikap qana’ah ini seharusnya dimiliki oleh orang yang kaya maupuan orang yang miskin adapun wujud qana’ah yaitu merasa cukup dengan pemberian Allah, tidak tamak terhadap apa yang dimiliki manusia, tidak iri melihat apa yang ada di tangan orang lain dan tidak rakus mencari harta benda dengan menghalalkan semua cara, sehingga dengan semua itu akan melahirkan rasa puas dengan apa yang sekedar dibutuhkan. Tentang sikap qana’ah, Ibnu Qudamah dalam Minhajul Qashidin menyampaikan hadits dalam Shahih Muslim dan yang lainnya, dari Amr bin Al-Ash Radhiyallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
قَدْ أفْلَحَ مَنْ أسْلَمَ وَرُزِقُ كَفَا فًا، وَ قَنَّعَهُ اللهُ بِمَا آتَاهُ
“Beruntunglah orang yang memasrahkan diri, dilimpahi rizki yang sekedar mencukupi dan diberi kepuasan oleh Allah terhadap apa yang diberikan kepadanya.” (Diriwayatkan Muslim, At-Tirmidzi, Ahmad dan Al-Baghawy)
Ketahuilah wahai saudariku sesungguhnya di dalam qana’ah itu ada kemuliaan dan ketentraman hati karena sudah merasa tercukupi, ada kesabaran dalam menghadapi hal-hal yang syubhat dan yang melebihi kebutuhan pokoknya, yang semua itu akan mendatangkan pahala di akhirat. Dan sesungguhnya dalam kerakusan dan ketamakan itu ada kehinaan dan kesusahan karena dia tidak pernah merasa puas dan cukup terhadap pemberian Allah.
Perbuatan qana’ah yang dapat kita lakukan misalnya puas terhadap makanan yang ada, meskipun sedikit laku pauknya, dan cukup dengan beberapa lembar pakaian untuk menutup aurat kita. Maka hendaklah dalam masalah keduniaan kita melihat orang yang di bawah kita, dan dalam masalah kehidupan akhirat kita melihat orang yang di atas kita. Hal ini sebagaimana telah ditegaskan Rasulullah dalam hadits yang artinya: “Lihatlah orang yang dibawah kalian dan janganlah melihat orang di atas kalian, karena yang demikian itu lebih layak bagi kalian untuk tidak memandang hina nikmat Allah yang dilimpahkan kepada kalian.” (Diriwayatkan Muslim dan At-Tirmidzy)
Sikap qana’ah ini hendaklah kita lakukan dalam setiap kondisi, baik ketika kita kehilangan harta maupun ketika mendapatkan harta. Barangsiapa yang mendapatkan harta maka haruslah diikuti dengan sikap murah hati, dermawan, menafkahkan kepada orang lain dan berbuat kebajikan. Marilah kita tengok kedermawanan dan kemurahan hati Rasulullah: Telah diriwayatkan dalam hadits shahih dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bahwa beliau adalah orang yang lebih cepat untuk berbuat baik daripada angin yang berhembus. Selagi beliau diminta sesuatu, maka sekali pun tidak pernah beliau menjawab. “Tidak” Suatu ketika ada seseorang meminta kepada beliau. Maka beliau memberinya sekumpulan domba yang digembala di antara dua bukit. Lalu orang itu menemui kaumnya dan berkata kepada mereka: “Wahai semua kaumku, masuklah Islam! Karena Muhammad memberikan hadiah tanpa merasa takut miskin.”
Subhanallah sungguh indah pahala yang Allah janjikan terhadap hambaNya yang memiliki sikap qana’ah, marilah kita senantiasa memohon kepada Allah agar kita di anugrahi sikap qana’ah dan dijauhkan dari sikap kikir dan bakhil.
اَللَّهُمَّ إنِّي أعُوْذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَ الْحَزَنِ،وَ الْعَجْزِ وَ الْكَسَلِ،وَالْبُخْلِ وَ الْجُبْنِ،وَضَلَعِ الدَّيْنِ وَ غَلبَةِالرِّجَالِ
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari (bahaya) rasa gundah gulana dan kesedihan, (rasa) lemah dan malas, (rasa) bakhil dan penakut, lilitan hutang dan penguasaan orang lain.”
اللّهمّ قنّعني بما رزقتني و با رك لي فيه ، و ا خلف على كلّ غا ئبة لي بخير
“Ya Allah, jadikanlah aku merasa qona’ah (merasa cukup, puas, rela) terhadap apa yang telah engkau rizkikan kepadaku, dan berikanlah berkah kepadaku di dalamnya, dan jadikanlah bagiku semua yang hilang dariku dengan lebih baik.”
Referensi:
- Hisnul Muslim min Udzkuril Kitaabi wa Sunnati oleh Sa’id Bin Wahf Al-Qahthani
- Terjemah Minhajul Qashidin; “Jalan Orang-Orang yang Mendapat Petunjuk”
- Terjemah Tafsir Ibnu Katsier terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi’i
- Do’a & Wirid Mengobati Guna-Guna dan Sihir Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah- Ust. Yazid bin Abdul Qadir Jawwas
Artikel www.muslimah.or.id
Dipetik daripada :
http://srikandimaqsurah.blogspot.com/2013/02/raih-kebahagiaan-dengan-qanaah-imam.html
*Bedah Buku*
Tajuk asal: Qam'u Al-Hirsh bi Az-Zuhd wa al-Qana'ah
Penulis: Imam Mufassir Abu Abdullah Muhammad Bin Ahmad Al-Qurthubi (Imam Qurthubi)
Terbitan: USWAH (Kumpulan Pro-U Media)
"Qana'ah
(merasa cukup) adalah simpanan terbaik untuk orang yang beriman dan
bertakwa kepada Allah SWT. Sebab, qanaah adalah harta simpanan yang
tidak akan habis."
Mahukah kita mengecapi kebahagiaan
dunia? Bagaimana pula kebahagiaan akhirat? Jika kedua-dua jawapan kita
adalah 'Ya', maka sangat wajarlah buku ini menjadi salah satu bacaan
kita dalam meraih apa yang kita hasratkan ini.
Karya nukilan Imam Qurthubi ini
dibahagikan kepada 40 tajuk yang ringkas dan sangat mudah difahami untuk
dipraktikkan. Banyak kisah sirah dan hadith dikongsikan sebagai panduan
kita mengamalkan sifat Qanaah dan zuhud. Kupasannya menyentuh ke sudut
hati. Namun, saya kongsikan hanya salah satu daripada hadith yang
diketengahkan.
Walau hanya satu hadith saya dapat
kongsikan kali ini, tetapi jika kita sama-sama hayati dan praktikkan
dalam kehidupan kita, insyaAllah kita berada dalam rangka mendekatkan
diri pada Allah yang Esa. Moga sifat qana'ah dan zuhud lahir dan
tersemat indah dalam diri kita.
Tirmidzi mentakhrij dari Abu Kabsyah Al-Anmari RA; Rasulullah SAW bersabda,
"Tiga hal aku bersumpah untuknya dan aku sampaikan satu pesanan kepadamu, maka hafalkanlah;
Harta seorang hamba tidak akan berkurang kerana sedekah;
Seorang hamba yang dizalimi dan dia bersabar menanggungnya pasti kemuliaannya akan ditambah oleh Allah;
Dan seorang hamba yang membuka pintu meminta-minta pasti Allah akan membuka pintu kemiskinan untuknya.
Dan aku sampaikan satu pesanan kepadamu, maka hafalkanlah; dunia milik 4 kelompok manusia;
Seorang hamba yang dianugerahi Allah harta dan ilmu.
Lalu dia bertakwa kepada Allah, melakukan silaturrahim serta mengetahui
hak Allah di dalam hartanya. Ini adalah tingkatan paling baik.
Seorang hamba yang dianugerahi Allah ilmu tetapi tidak dianugerahi harta. Namun
dia punyai niat tulus dan mengatakan, 'Andai kata aku punya harta tentu
aku akan beramal seperti fulan.' Dan kerana niatnya ini, pahala mereka
berdua sama.
Seorang hamba yang dianugerahi Allah harta tetapi tidak dianugerahi ilmu.
Dia memakai hartanya tanpa dasar ilmu, tidak bertakwa kepada Allah,
tidak melakukan silaturrahim serta tidak mengetahui hak Allah dalam
hartanya. Ini adalah tingakatan terburuk.
Serta seorang hamba yang tidak dianugerahi ilmu dan harta namun
dia mengatakan, 'Andai kata aku punya harta tentu aku akan beramal
seperti amal fulan.' Dan kerana niatnya, dosa mereka berdua sama."
(HR Tirmidzi dan Ahmad, Hadith Hasan sahih)
*Perkongsian daripada Ukhti Rawaida Ain Burhani, Pelajar Phd UTP, Sinergi Edisi 9.
Dipetik daripada :
http://indo2.islamic-world.net/index.php?option=com_content&view=article&id=59:qanaah-dalam-kehidupan-manusia&catid=23:tasawuf&Itemid=25
Qanaah dalam kehidupan manusia
(Cara menerima anugerah Allah SWT)
Secara
maknawi, qonaah berarti menerima apa adanya. Merasa ikhlas dengan
kondisi apapun yang dialami. Dalam bahasa jawanya : “nerimo ing pandum”.
Secara Istilahi diartikan menerima dengan ketulusan hati atas apa yang
telah Allah rezekikan kepada kita, dengan mengambil manfaat sekadar
keperluan sebagai jalan untuk melakukan ketaatan kepada sang Khalik
[melakukan kewajiban yang telah di perintahkan, dan menjauhi
larangan-Nya]. Karena sejatinya Qonaah seperti yang sering diungkapkan
para ulama:
وَاْلقَانِعُ غَنِيٌّ وَلَوْ كَانَ جُوْعًا
Bahwa
orang-orang yang mampu dan dapat menerima apa adanya dari Allah atas
rezeki-Nya, termasuk golongan orang-orang yang kaya(hati,sifat,dan
perbuatan), walaupun suatu saat dia merasakan kelaparan secara fisik.
Dalam sudut pandang tertentu, qonaah sering disalah artikan sehingga menjadi pemicu sebuah kemunduran, terganjalnya proses perkembangan seseorang ke tingkatan yang lebih baik/tinggi dalam berbagai aspek kehidupan.
Memang tidak salah kalau qonaah diartikan menerima apa adanya, tapi tidak berhenti sampai disini. Sikap qonaah menuntut siapa saja untuk selalu bermuhasabah, introspeksi, seberapakah kemampuan dirinya, sehingga ia hidup secara wajar dan tidak melampaui batas. Selanjutnya diperlukan adanya syukur, tasyakkur dan tafakkur. Syukur sebagai perwujudan menerima apa adanya atas karunia Tuhan, tasyakkur merupakan cerminan dari kelapangan hati dan kesabaran, sedangkan tafakkur sebagai wujud evaluasi diri untuk mengubah pola hidup yang selama ini ‘mungkin’ telah jauh menyimpang.
Contoh kecilnya di saat kita sedang merintis usaha, membuka perniagaan dan suatu ketika barang/jenis perniagaan yang kita jual sedang mengalami penurunan drastis. Dalam kondisi seperti ini, langkah pertama yang harus kita lakukan adalah: Ikhlas, kemudian bersyukur, “Alhamdulillah, dengan kesempitan ini Ya Allah Engkau ingatkan aku, Kau jadikan aku lebih mendekat kepada-Mu”. Langkah selanjutnya adalah tafakkur: Evaluasi.
Kenapa orang-orang seakan menjauh dari tokoku, apakah karena tempat ini terlalu kotor sehingga tidak menarik keinginan para pembeli, apa karena harga jualku terlalu mahal, atau barangkali dari pelayanan kita yang tidak disukai pembeli???Evaluasi ini dilakukan sehingga dari situ lahirlah perbaikan-perbaikan, yang akan membawa dua manfaat sekaligus; Ibadah kita semakin tenang (khusyu’), urusan dunia semakin lancar dengan tidak menyalahkan orang lain.
Salah satu sebab yang membuat hidup ini tidak tentram adalah terpedayanya diri kita kepada kecintaan akan harta dan dunia. Orang yang terpedaya harta akan senantiasa merasa tidak cukup dengan apa yang dimilikinya. Akibatnya, dalam dirinya lahir sikap-sikap yang mencerminkan bahwa ia sangat jauh dari rasa syukur kepada Allah Sang Maha Pemberi rezeki.
Orang-orang yang cinta dunia akan selalu terdorong untuk berburu segala keinginannya, meski harus menggunakan segala cara: licik, bohong, atau mengurangi timbangan. Ia juga tidak pernah menyadari, sesungguhnya harta hanyalah ujian. Ketentraman hidup sesungguhnya hanya dapat diraih melalui penyikapan yang tepat terhadap harta dan dunia, sekecil dan sebesar apa pun harta yang dimilikinya. Orang yang qanaah hidupnya senantiasa bersyukur. Makan dengan garam akan terasa nikmat tiada terhingga, karena ia tidak pernah berpikir tentang daging yang tiada di hadapannya. Makan dengan sayur kangkung atau daging akan sangat disyukurinya. Ia pun akan berusaha untuk membagi kenikmatan yang diterimanya itu dengan keluarga, kerabat, teman atau pun tetangganya, karena ia ingat pada orang-orang yang hanya bisa makan dengan garam saja.
Dalam sudut pandang tertentu, qonaah sering disalah artikan sehingga menjadi pemicu sebuah kemunduran, terganjalnya proses perkembangan seseorang ke tingkatan yang lebih baik/tinggi dalam berbagai aspek kehidupan.
Memang tidak salah kalau qonaah diartikan menerima apa adanya, tapi tidak berhenti sampai disini. Sikap qonaah menuntut siapa saja untuk selalu bermuhasabah, introspeksi, seberapakah kemampuan dirinya, sehingga ia hidup secara wajar dan tidak melampaui batas. Selanjutnya diperlukan adanya syukur, tasyakkur dan tafakkur. Syukur sebagai perwujudan menerima apa adanya atas karunia Tuhan, tasyakkur merupakan cerminan dari kelapangan hati dan kesabaran, sedangkan tafakkur sebagai wujud evaluasi diri untuk mengubah pola hidup yang selama ini ‘mungkin’ telah jauh menyimpang.
Contoh kecilnya di saat kita sedang merintis usaha, membuka perniagaan dan suatu ketika barang/jenis perniagaan yang kita jual sedang mengalami penurunan drastis. Dalam kondisi seperti ini, langkah pertama yang harus kita lakukan adalah: Ikhlas, kemudian bersyukur, “Alhamdulillah, dengan kesempitan ini Ya Allah Engkau ingatkan aku, Kau jadikan aku lebih mendekat kepada-Mu”. Langkah selanjutnya adalah tafakkur: Evaluasi.
Kenapa orang-orang seakan menjauh dari tokoku, apakah karena tempat ini terlalu kotor sehingga tidak menarik keinginan para pembeli, apa karena harga jualku terlalu mahal, atau barangkali dari pelayanan kita yang tidak disukai pembeli???Evaluasi ini dilakukan sehingga dari situ lahirlah perbaikan-perbaikan, yang akan membawa dua manfaat sekaligus; Ibadah kita semakin tenang (khusyu’), urusan dunia semakin lancar dengan tidak menyalahkan orang lain.
Salah satu sebab yang membuat hidup ini tidak tentram adalah terpedayanya diri kita kepada kecintaan akan harta dan dunia. Orang yang terpedaya harta akan senantiasa merasa tidak cukup dengan apa yang dimilikinya. Akibatnya, dalam dirinya lahir sikap-sikap yang mencerminkan bahwa ia sangat jauh dari rasa syukur kepada Allah Sang Maha Pemberi rezeki.
Orang-orang yang cinta dunia akan selalu terdorong untuk berburu segala keinginannya, meski harus menggunakan segala cara: licik, bohong, atau mengurangi timbangan. Ia juga tidak pernah menyadari, sesungguhnya harta hanyalah ujian. Ketentraman hidup sesungguhnya hanya dapat diraih melalui penyikapan yang tepat terhadap harta dan dunia, sekecil dan sebesar apa pun harta yang dimilikinya. Orang yang qanaah hidupnya senantiasa bersyukur. Makan dengan garam akan terasa nikmat tiada terhingga, karena ia tidak pernah berpikir tentang daging yang tiada di hadapannya. Makan dengan sayur kangkung atau daging akan sangat disyukurinya. Ia pun akan berusaha untuk membagi kenikmatan yang diterimanya itu dengan keluarga, kerabat, teman atau pun tetangganya, karena ia ingat pada orang-orang yang hanya bisa makan dengan garam saja.
Bukan Fatalis
Ketika berusaha mencari dunia, orang-orang qanaah menyikapinya sebagai sebuah ibadah yang mulia di hadapan Allah Yang Mahakuasa, sehingga ia tidak berani berbuat licik, berbohong, ataupun mengurangi timbangan. Karena ia yakin, tanpa menghalalkan segala cara pun ia tetap akan mendapatkan rezeki yang dijanjikan Allah. Ia menyadari, posisi rezeki yang dicarinya tidak akan melebihi dari tiga hal. Pertama, rezeki yang ia makan hanya akan menjadi kotoran. Kedua, rezeki yang ia pakai hanya akan menjadi benda usang. Ketiga, rezeki yang ia nafkahkan(Shodaqah) akan bernilai di hadapan Allah. Karenanya, ia pun lebih dahulu mementingkan seruan Rabbnya: "Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru kepada kamu sekalian untuk melakukan shalat di Hari Jumuah, bersegeralah untuk mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagi kamu jika kamu sekalian mengetahuinya" (QS. Al-Jumu'ah:9)
Tetapi jika ia telah sampai pada keadaan itu, ia juga tidak lantas terjebak dengan kenikmatan berkhalwat dengan Allah, karena ia menyadari, masih ada aturan Allah yang mewajibkannya untuk beraktivitas kembali.
"Dan apabila telah selesai melaksanakan shalat, maka bertebaranlah kamu semua di muka bumi dan carilah karunia Allah serta ingatlah Allah sebanyak-banyaknya, supaya kamu sekalian beruntung" (QS. Al-Jumu'ah:10).
Niat yang lahir dari hati orang-orang yang qanaah ketika melakukan aktivitas pencarian dunia bukan didasarkan pada penumpukan kekayaan untuk ia nikmati sendirian, namun benar-benar didasarkan pada ibadah. Orang-orang qanaah akan mencari harta dan dunia untuk membekali dirinya agar lebih kuat dalam beribadah. Ia akan berpikir, bukankah Allah lebih mencintai mukmin yang kuat dibanding mukmin yang lemah?
Pencarian harta dan dunia yang dilakukannya juga dimaksudkan untuk menafkahi keluarganya agar tidak terjatuh pada jurang kefakiran, menyantuni orang lain, dan agar tidak membebani orang lain ketika Allah menimpakan kesulitan kepada dirinya. Ia akan terus teringat:
كََادَ الْفَقْرُ أَنْ يَكُوْنَ كُفْرًا
“Kefakiran dapat mendekatkan diri pada kekufuran.”
Niat orang-orang qanaah ketika mencari harta juga didasarkan pada keharusannya menguasai ilmu pengetahuan. Ia tidak akan pernah merasa sayang dengan harta dan dunia sepanjang ia menggunakannya untuk makin bertambahnya ilmu pengetahuan. Ia yakin, hanya dengan memiliki ilmulah ia dan keluarganya akan merasa tentram dalam beribadah dan bermuamalah.
Qana’ah (rela atas segala pemberian Allah SWT), adalah suatu yang sangat berat untuk dilakukan, kecuali bagi orang yang diberikan taufiq dan mendapat petunjuk serta dijaga oleh Allah Yang MahaKuasa dari keburukan jiwa, kebakhilan dan ketamakannya. Karena manusia diciptakan dalam keadaan memiliki rasa cinta terhadap kepemilikan harta. Namun, meskipun demikian kita dituntut untuk memerangi hawa nafsu supaya bisa menekan sifat tamak dan membimbingnya menuju sikap zuhud dan qana’ah.
Berikut ada beberapa kiat menuju qana’ah,yaitu:
1. Memperkuat keimanan kepada Allah SWT
2. Yakin bahwa rizki telah tertulis
Seorang muslim yakin bahwa rizkinya sudah tertulis sejak dirinya berada di dalam kandungan ibunya. Sebagaimana hadits dari Ibnu Mas’ud RA, disebutkan sabda Rasulullah SAW:
ثُمَّ يُبْعَثُ اِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيُؤْذَنُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ فَيَكْتُبُ رِزْقَهُ وَأَجَلَهُ وَعَمَلَهُ وَشَقِيٌّ أَمْ سَعِيْدٌ
“Kemudian Allah SWT mengutus kepadanya (janin) seorang malaikat lalu diperintahkan menulis empat kalimat (ketetapan), maka ditulislah rizkinya, ajalnya, amalnya, celaka dan bahagianya.” (HR. Bukhari, Muslim, dan Ahmad)
3. Memikirkan Ayat-Ayat Allah
Amir bin Abdi Qais pernah berkata, “Empat ayat di dalam Kitabullah yang apabila aku membacanya di sore hari,maka aku tidak akan peduli atas apa yang akan terjadi padaku sore itu, dan apabila aku membacanya di pagi hari, maka aku tidak akan peduli dengan apa Aku akan berpagi-pagi, ayat-ayat itu diantaranya:
a. Surah Fathir : 2
مَايَفْتَحِ اللهُ لِلنَّاسِ مِنْ رَحْمَةٍ فَلَا مُمْسِكَ لَهَا وَمَا يُمْسِكْ فَلَا مُرْسِلَ لَهُ مِنْ بَعْدِهِ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ
2. Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, Maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah Maka tidak seorangpun yang sanggup melepaskannya sesudah itu. dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
b. Surah Yunus ayat: 107
وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللهُ بِضُرٍّ فَلاَ كَاشِفَ لَهُ اِلاَّ هُوَ وَاِنْ يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلاَ رَادَّ لِفَضْلِهِ
يُصِيْبُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَهُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
107. Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, Maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, Maka tak ada yang dapat menolak kurnia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
c. Surah Huud ayat: 6
وَمَامِنْ دَابَّةٍ فِى اْلاَرْضِ إِلاَّ عَلىَ اللهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِىْ كِتَابٍ مُّبِيْنٌ
6. Dan tidak ada suatu binatang melata[709] pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya[710]. semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).
d. Surah Asy-Syuura ayat 27:
وَلَوْ بَسَطَ اللهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِى اْلاَرْضِ وَلَكِنْ يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيْرٌ بَصِيْرٌ
27. Dan Jikalau Allah melapangkan rezki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha melihat.
e. Surah Ath-Thalaq : 7
لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ , وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا ءَاتَاهُ اللهُ, لاَيُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ مَا ءَاتَاهَا سَيَجْعَلُ اللهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
7. Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.
4. Ketahui Hikmah Perbedaan Rezeki
Diantara hikmah Allah menentukan perbedaan rezeki dan tingkatan seorang hamba dengan lainnya adalah supaya terjadi dinamika kehidupan manusia di muka bumi, saling tukar-menukar manfaat, tumbuh aktifitas perkonomian, serta agar antara satu dengan yang lain saling memberikan pelayanan dan jasa.
5. Banyak memohon doa kepada Allah SWT semoga kita selalu qonaah.
Rasulullah adalah manusia yang paling qana’ah, ridha dengan apa yang ada dan paling banyak zuhudnya. Beliau juga seorang yang paling kuat iman dan keyakinannya, namun demikian beliau masih meminta kepada Allah diberikan rasa qana’ah, beliau berdoa:
“Ya Allah berikan Aku sifat qana’ah terhadap apa yang telah engkau rizkikan kepadaku, berkahilah pemberian itu dan gantilah segala yang luput (hilang) dariku dengan yang lebih baik.” (HR. Al-Hakim)
Dan karena saking qana’ahnya beliau tidak meminta kepada Allah melainkan sekedar cukup untuk kehidupan saja, dan meminta disedikitkan dalam dunia (harta) sebagaimana sabda beliau:
مِنْ تَمَامِ النِّعْمَةِ أَنْ يَرْزُقَكَ مَا يَكْفِيْكَ وَيَمْنَعُكَ مَا يُطْغِيْكَ
Setengah daripada kesempurnaan nikmat Allah: berikanlah rezeki kepada kami(Muhammad SAW) hanyalah cukup sesuai dengan keperluan pokok saja, dan jauhkanlah apa yang bisa menyebabkan Engkau tidak ridlo dari atas apa karunia-Mu.
6. Menyadari bahwa rizki tidak diukur dengan kepandaian
Kita harus menyadari bahwa rezeki seseorang itu tidak bergantung kepada kecerdasan akal semata, kepada banyaknya aktifitas, keluasan ilmu, meskipun dalam sebagiannya itu merupakan sebab datangnya rizki, namun bukan ukuran secara pasti.
Kesadaran tentang hal ini akan menjadikan seseorang bersikap qana’ah, terutama melihat orang yang lebih bodoh, pendidikannya lebih rendah dan tidak berpengalaman mendapatkan rezeki lebih banyak daripada dirinya, sehingga tidak memunculkan sikap dengki dan iri. Sebagaimana dalam surah Az-Zumar ayat: 49, dijelaskan:
فَإِذَا مَسَّ اْلاِنْسَانَ ضُرٌّ دَعَانَا ثُمَّ إِذَا خَوَّلْنَاهُ نِعْمَةً مِّنَّا قَالَ إِنَّمَا أُوْ تِيْتُهُ عَلىَ عِلْمٍ,
بَلْ هِيَ فِتْنَةٌ وَّلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لاَيَعْلَمُوْنَ
49. Maka apabila manusia ditimpa bahaya ia menyeru Kami, kemudian apabila Kami berikan kepadanya nikmat dari Kami ia berkata: "Sesungguhnya aku diberi nikmat itu hanyalah karena kepintaranku". sebenarnya itu adalah ujian, tetapi kebanyakan mereka itu tidak mengetahui.
7. Melihat ke bawah dalam hal dunia
Dalam urusan dunia hendaknya kita melihat kepada orang yang lebih rendah, jangan melihat kepada orang yang lebih tinggi, sebagaimana sabda Rasulullah:
أُنْظُرْ إِلىَ مَنْ هُوَ تَحْتَكَ, وَلاَ تَنْظُرْ إِلىَ مَنْ هُوَ فَوْقَكَ, فَإِنَّهُ أَجْدَرَلَكَ أّلاَّ تَزْدَرِيْ نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكَ
“Lihatlah kepada orang yang lebih rendah dari kamu dan janganlah melihat kepada orang yang lebih tinggi darimu. Yang demikian itu lebih layak agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jika saat ini anda sedang sakit maka yakinlah bahwa selain anda ada lagi lebih parah sakitnya. Jika anda merasa fakir maka tentu di sana masih ada orang lain yang lebih fakir lagi, dan seterusnya.
8. Membaca kehidupan para shahabat dan orang-orang terdahulu
Yakni melihat bagaimana keadaan mereka dalam menyikapi dunia, bagaimana kezuhudan mereka, qana’ah mereka terhadap yang mereka peroleh meskipun hanya sedikit. Di antara mereka ada yang memperoleh harta yang melimpah, namun mereka justru memberikannya kepada yang lain dan yang lebih memerlukannya.
9. Menyadari betapa beratnya pertanggungjawaban harta
Bahwa harta akan mengakibatkan keburukan dan bencana bagi pemiliknya jika dia tidak mendapatkannya dengan cara yang baik serta tidak membelanjakannya dalam hal yang baik pula. Ketika seorang hamba ditanya tentang umur, badan, dan ilmunya maka hanya ditanya dengan satu pertanyaan yakni untuk apa, namun tentang harta maka dia dihisab 2 kali, yakni dari mana dia dapat dan kemana dia belanjakan.
Hal ini menunjukan betapa beratnya orang yang diberi amanat harta yang banyak sehingga dia harus dihisab lebih lama dibandingkan orang yang lebih sedikit hartanya.
10. Melihat realita bahwa orang fakir dan orang kaya tidak jauh berbeda
Karena orang yang kaya tidak mungkin memanfaatkan seluruh kekayaannya dalam satu waktu sekaligus. Kita perhatikan orang yang paling kaya di dunia ini, dia tidak makan kecuali sebanyak yang dimakan orang fakir, bahkan mungkin lebih banyak yang dimakan oleh orang fakir. Tidak mungkin si kaya makan lebih dari 50 piring, meskipun dia mampu untuk membeli dengan hartanya. Andaikan si kaya memiliki seratus potong baju maka si kaya hanya memakai sehelai baju saja, bukankah hal ini sama dengan yang dipakai oleh orang fakir, dan harta selebihnya yang tidak ia manfaatkan maka itu relative (nisbi).
Sungguh indah apa yang diucapkan sahabat rasul Abu Darda RA: “Para pemilik harta makan dan kami juga makan, mereka minum dan kami juga minum, mereka berpakaian dan kami juga berpakaian, mereka naik kendaraan dan kamipun naik kendaraan. Mereka memiliki kelebihan harta yang mereka lihat dan dilihat juga oleh selain mereka, lalu mereka menemui hisab atas harta itu sedangkan kita terbebas darinya.”
Dengan demikian, semoga dalam mengarungi kehidupan di alam yang fana ini, kita senantiasa diberikan rasa qanaah atas segala limpahan karunia-Nya, serta di hindarkan dari perbuatan rakus yang pada akhirnya dapat terjerumus ke dalam siksa-Nya.
Wallahu A’lam.
Ibnu Dahlan el-Madary
Heningnya Embun Pagi meduri,03:19,15122011
Sholli Ala Muhammad Wa Aalihi
========================================================================
Dipetik daripada :
http://abumarwanhamdi.blogspot.com/2007/05/apa-itu-qanaah.html
Wednesday, May 9, 2007
Apa itu Qana'ah?
Menurut Prof. Dr. Hamka dalam bukunya; Tasauf Moden, Qanaa'ah ialah kekayaan yang sebenarnya bagi seorang insan. Ada 5 elemen yang terkandung dalam Qana'ah ini, iaitu:-
1. Menerima dengan rela apa yang ada
2. Memohon kepada Tuhan dan berusaha
3. Sabar atas segala ketentuan Tuhan
4. Bertawakal kepada Tuhan
5. Tidak mudah tertarik dengan tipu daya dunia
Nabi Muhammad ada menyebut tentang beberapa perkara yang berkaitan dengan Qana'ah ini:
"Kekayaan itu bukan kerana banyak harta, tetapi, kekayaan itu adalah kekayaan jiwa"
"Qana'ah itu ialah harta yang tidak akan hilang dan harta yang tidak akan lenyap"
"Sekiranya kamu reda dengan apa yang Tuhan berikan kepada kamu, maka kamu menjadi orang yang paling kaya"
Dipetik daripada :
http://www.sinarharian.com.my/kolumnis/dr-asyraf-wajdi-dusuki/memupuk-budaya-qanaah-umat-1.84233
Memupuk budaya qanaah umat
Ketika menulis artikel minggu ini, penulis masih berada di kota London
setelah tiga hari berada di Universiti Cambridge bagi memenuhi jemputan
menyampaikan syarahan mengenai penstrukturan instrumen kewangan Islam di
salah sebuah universiti tertua di dunia.
Apa yang menarik untuk dikongsikan dengan pembaca minggu ini ialah fakta dibentangkan salah seorang ahli ekonomi Britain yang mendedahkan bagaimana kecenderungan masyarakat di sini yang terjebak dengan pelbagai skim pelaburan cepat kaya seperti skim ponzi.
Ternyata fenomena melanda masyarakat di Britain kini hakikatnya tidaklah asing bagi masyarakat di Malaysia. Malah ketika ini, masyarakat Malaysia kelihatan begitu mudah tergoda dengan pelbagai bentuk pelaburan yang menjanjikan keuntungan mudah seperti skim cepat kaya, piramid dan pelaburan internet. Fenomena ini tampak semakin berleluasa dalam masyarakat yang bagaikan hilang pertimbangan rasional apabila dijanjikan pulangan berlipat-ganda tanpa perlu mengerah tenaga.
Semakin banyak kes penipuan didedahkan media semakin ramai yang terjebak dengan skim-skim pelaburan seperti ini. Lebih memeranjatkan, mereka yang terjebak termasuklah golongan terpelajar, pegawai kerajaan dan swasta mahupun generasi belia remaja yang begitu terdorong untuk menjadi kaya.
Pelaburan dengan jaminan keuntungan tanpa perlu berusaha seperti ini pastilah mencetuskan keraguan dari perspektif syarak yang jelas bertentangan dengan hadis nabi yang masyhur: “Keuntungan (hasil pelaburan) mestilah dengan menghadapi risiko” (Riwayat As-Syafie, Ahmad, Ibnu Hibban dan Abu Daud).
Hadis Nabi ini telah disepakati ulamak sebagai suatu kaedah fiqh dalam penentuan kesahihan sesuatu keuntungan, sama ada melalui pelaburan mahupun jual beli. Dalam kontrak pelaburan umpamanya, ulamak menyepakati bahawa jaminan keuntungan bagi sesuatu pelaburan adalah haram kerana ia adalah riba (rujuk resolusi syariah AAOIFI, 2005).
Bagi penulis, fenomena kegilaan masyarakat untuk menjadi kaya melalui pelbagai skim pelaburan yang masih diragui kesahihan syaraknya amat terkait dengan faktor memudarnya budaya qanaah dalam jiwa umat Islam hari ini.
Qanaah merupakan salah satu sifat Nabawi yang bermaksud rasa cukup dan puas hati dengan apa jua rezeki pemberian ALLAH. Qanaah juga merupakan suatu manifestasi keimanan yang mampu mengawal dan membatasi sifat ketamakan, kerakusan dan haloba yang mudah menguasai diri manusia.
Manusia tidak beriman dan terbudaya dengan nilai qanaah amat mudah dikuasai sifat-sifat kebinatangan tersebut. Manusia yang berwatak binatang tidak akan pernah berasa puas dengan hasil sedikit dan tidak pula berasa kenyang dengan pendapatan melimpah ruah.
Sebuah hadis jelas menggambarkan tabiat manusia seperti ini: Jika seorang anak Adam memiliki emas sepenuh dua lembah sekalipun maka dia akan (berusaha) mencari lembah yang ketiga. Perut anak Adam tidak akan berasa puas sehinggalah dipenuhi dengan tanah. (Riwayat Bukhari).
Membudaya sifat qanaah dalam diri tidak pula bermakna Islam menyuruh golongan fakir miskin berpuas hati dengan taraf hidup yang rendah dan hina. Ia juga tidak bermakna bahawa kita harus berhenti mencari kekayaan halal, penghidupan baik serta kehidupan yang berkecukupan.
Sesungguhnya Rasulullah SAW sendiri pernah meminta kekayaan dan ketakwaan daripada ALLAH sebagaimana doa diriwayatkan oleh Muslim dengan lafaz: “Ya ALLAH, aku memohon ketaqwaan, petunjuk, kemuliaan dan kekayaan kepadamu”. Baginda juga pernah mendoakan sahabat Anas bin Malik dengan doa berikut: “Ya ALLAH perbanyakkanlah hartanya.” (Riwayat Bukhari).
Apa yang penting kekayaan ingin dikecap mestilah dengan cara halal tanpa mencetuskan penindasan kepada orang lain. Sifat qanaah akan mewujudkan pola kehidupan sederhana dan menghindari gaya hidup berlebih-lebihan dan bermewah-mewahan. Biasanya gaya hidup bermewah-mewahlah yang mendorong pelbagai perilaku songsang hingga tidak lagi mengenali batasan halal dan haram.
Justeru, amat penting sekali budaya qanaah ini kembali disemarakkan dalam diri setiap individu agar membentengi diri daripada terjerumus dalam pelbagai skim cepat kaya yang pada hakikatnya lebih banyak mendatangkan keburukan daripada kebaikan.
Kekayaan yang diperoleh secara halal akan menjadikan manusia lebih bertakwa, dilimpahi rahmat dan barakah ALLAH. Sebaliknya kekayaan yang tidak berasaskan keimanan hingga tercabutnya sifat qanaah dalam diri hanya akan melahirkan manusia berbudaya foya-foya tetapi pengecut, hilang daya juang dan tidak berani menghadapi risiko. Berleluasanya fenomena sedemikian adalah petanda kehancuran sesuatu umat.
Apa yang menarik untuk dikongsikan dengan pembaca minggu ini ialah fakta dibentangkan salah seorang ahli ekonomi Britain yang mendedahkan bagaimana kecenderungan masyarakat di sini yang terjebak dengan pelbagai skim pelaburan cepat kaya seperti skim ponzi.
Ternyata fenomena melanda masyarakat di Britain kini hakikatnya tidaklah asing bagi masyarakat di Malaysia. Malah ketika ini, masyarakat Malaysia kelihatan begitu mudah tergoda dengan pelbagai bentuk pelaburan yang menjanjikan keuntungan mudah seperti skim cepat kaya, piramid dan pelaburan internet. Fenomena ini tampak semakin berleluasa dalam masyarakat yang bagaikan hilang pertimbangan rasional apabila dijanjikan pulangan berlipat-ganda tanpa perlu mengerah tenaga.
Semakin banyak kes penipuan didedahkan media semakin ramai yang terjebak dengan skim-skim pelaburan seperti ini. Lebih memeranjatkan, mereka yang terjebak termasuklah golongan terpelajar, pegawai kerajaan dan swasta mahupun generasi belia remaja yang begitu terdorong untuk menjadi kaya.
Pelaburan dengan jaminan keuntungan tanpa perlu berusaha seperti ini pastilah mencetuskan keraguan dari perspektif syarak yang jelas bertentangan dengan hadis nabi yang masyhur: “Keuntungan (hasil pelaburan) mestilah dengan menghadapi risiko” (Riwayat As-Syafie, Ahmad, Ibnu Hibban dan Abu Daud).
Hadis Nabi ini telah disepakati ulamak sebagai suatu kaedah fiqh dalam penentuan kesahihan sesuatu keuntungan, sama ada melalui pelaburan mahupun jual beli. Dalam kontrak pelaburan umpamanya, ulamak menyepakati bahawa jaminan keuntungan bagi sesuatu pelaburan adalah haram kerana ia adalah riba (rujuk resolusi syariah AAOIFI, 2005).
Bagi penulis, fenomena kegilaan masyarakat untuk menjadi kaya melalui pelbagai skim pelaburan yang masih diragui kesahihan syaraknya amat terkait dengan faktor memudarnya budaya qanaah dalam jiwa umat Islam hari ini.
Qanaah merupakan salah satu sifat Nabawi yang bermaksud rasa cukup dan puas hati dengan apa jua rezeki pemberian ALLAH. Qanaah juga merupakan suatu manifestasi keimanan yang mampu mengawal dan membatasi sifat ketamakan, kerakusan dan haloba yang mudah menguasai diri manusia.
Manusia tidak beriman dan terbudaya dengan nilai qanaah amat mudah dikuasai sifat-sifat kebinatangan tersebut. Manusia yang berwatak binatang tidak akan pernah berasa puas dengan hasil sedikit dan tidak pula berasa kenyang dengan pendapatan melimpah ruah.
Sebuah hadis jelas menggambarkan tabiat manusia seperti ini: Jika seorang anak Adam memiliki emas sepenuh dua lembah sekalipun maka dia akan (berusaha) mencari lembah yang ketiga. Perut anak Adam tidak akan berasa puas sehinggalah dipenuhi dengan tanah. (Riwayat Bukhari).
Membudaya sifat qanaah dalam diri tidak pula bermakna Islam menyuruh golongan fakir miskin berpuas hati dengan taraf hidup yang rendah dan hina. Ia juga tidak bermakna bahawa kita harus berhenti mencari kekayaan halal, penghidupan baik serta kehidupan yang berkecukupan.
Sesungguhnya Rasulullah SAW sendiri pernah meminta kekayaan dan ketakwaan daripada ALLAH sebagaimana doa diriwayatkan oleh Muslim dengan lafaz: “Ya ALLAH, aku memohon ketaqwaan, petunjuk, kemuliaan dan kekayaan kepadamu”. Baginda juga pernah mendoakan sahabat Anas bin Malik dengan doa berikut: “Ya ALLAH perbanyakkanlah hartanya.” (Riwayat Bukhari).
Apa yang penting kekayaan ingin dikecap mestilah dengan cara halal tanpa mencetuskan penindasan kepada orang lain. Sifat qanaah akan mewujudkan pola kehidupan sederhana dan menghindari gaya hidup berlebih-lebihan dan bermewah-mewahan. Biasanya gaya hidup bermewah-mewahlah yang mendorong pelbagai perilaku songsang hingga tidak lagi mengenali batasan halal dan haram.
Justeru, amat penting sekali budaya qanaah ini kembali disemarakkan dalam diri setiap individu agar membentengi diri daripada terjerumus dalam pelbagai skim cepat kaya yang pada hakikatnya lebih banyak mendatangkan keburukan daripada kebaikan.
Kekayaan yang diperoleh secara halal akan menjadikan manusia lebih bertakwa, dilimpahi rahmat dan barakah ALLAH. Sebaliknya kekayaan yang tidak berasaskan keimanan hingga tercabutnya sifat qanaah dalam diri hanya akan melahirkan manusia berbudaya foya-foya tetapi pengecut, hilang daya juang dan tidak berani menghadapi risiko. Berleluasanya fenomena sedemikian adalah petanda kehancuran sesuatu umat.